Oleh RIYANTO (Mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi)
DJOHAN Effendi pada harian Kompas edisi 7 November 2002, melalui tulisannya berjudul Jamaah Islamiyah dan Abdullah Sungkar,
mengatakan bahwa Abdullah Sungkar dengan tegas pernah menyatakan
keberadaan Jamaah Islamiyah (JI), melalui sebuah wawancara antara
Abdullah Sungkar dengan majalah Nidaul Islam edisi 17 yang terbit sektar Februari-Maret 1997.
Menurut
Abdullah Sungkar, Jamaah Islamiyah bercita-cita membangun Daulah
Islamiyah (Pemerintahan Islam), dan JI memiliki perbedaan yang jelas
dibandingkan dengan organisasi-organisasi Islam lainnya. Bila parpol dan
ormas Islam yang ada di Indonesia memilih jalan kooperatif dengan
pemerintah, maka JI bersikap nonkooperatif.
Abdullah
Sungkar juga mengatakan, JI bukanlah gerakan yang sama sekali baru,
karena embrio JI adalah gerakan DI/TII yang telah memproklamasikan
Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus 1949. NII
diproklamasikan selain untuk menentang pemerintahan kafir Belanda juga
untuk menentang rezim sekuler Republik Indonesia.
Menurut
klaim Abdullah Sungkar, JI merupakan gerakan yang berusaha
mengembalikan kesadaran akan kewajiban membangun Daulah Islamiyah
melalui jalan jihad, sebagai kelanjutkan gerakan DI/TII. Upaya itu
ditempuh dengan membangun tiga kekuatan, yaitu kekuatan aqidah, kekuatan
persaudaraan dan kekuatan milisi. JI juga menerapkan strategi yang sama
dengan DI/TII dalam mencapai cita-citanya, yaitu Iman, Hijrah dan
Jihad.
1423190854377372875
Kaitan Talangsari dengan JI
Lalu,
apa hubungan antara kasus Talangsari (Lampung) dengan JI (Jamaah
Islamiyah)? Keduanya punya titik persintuhan dengan sosok bernama
Abdullah Sungkar. Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika
Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski
secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun komunikasi dan
pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.
14231909631260391272
Semasa
masih berada di Indonesia, semasih menjadi kader NII, Abdullah Sungkar
aktif membina gerakan keagamaan yang dinamakan Usroh. Sejumlah pelaku
kasus Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar
ini. Misalnya, Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah
Sungkar pada tahun 1984. Selain menjadi aktivis gerakan Usroh Abdullah
Sungkar, Sukardi juga anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan Nurhidayat bin Abdul Mutholib.
Nurhidayat
sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar
Jakarta Selatan, yang mengenal gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun
1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih
kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang pernah
menjabat sebagai Ketua Mantiqi II.
Nama-nama
lain yang juga terkait kasus Talangsari yang juga menjadi anggota
gerakan Usroh pimpinan Abdullah Sungkar adalah Mushonif, Abadi Abdillah,
Margotugino, Suryadi, Alex alias Muhammad Ali, Arifin bin Karyan
(mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Ring Condet).
Mushonif
yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak
terlibat dalam peristiwa itu. Ia adalah alumnus Pondok Pesantren
al-Mukmin Ngruki (1983-1986) yang diutus untuk mengajar di Pondok
Pesantren Al-Islam di Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Kala itu ia
bersama Abadi Abdullah ditugaskan pimpinan ponpes Ngruki untuk mengajar
di ponpes Al-Islam, Way Jepara, Lampung. Selama di Way Jepara, Mushonif
aktif mengikuti pengajian yang diselenggarakan Warsidi. Karena, ia
merasa satu pemahaman dengan Warsidi. Ketika ditangkap aparat, dengan
jujur dan terus terang Mushonif mengakui dirinya anggota jamaah Warsidi,
namun tidak terlibat aksi kekerasan.
Nama
lain yang ikut membidani kasus Talangsari adalah Wahidin AR Singaraja
alias Zainal, mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Ring Condet
(sejak 1984) yang terakhir bekerja sebagai Satpam Taman Impian Jaya
Ancol, Jakarta Utara. Ketika Nurhidayat dalam masa pelarian, Wahidin
menjadi semacam tempat singgah. Nurhidayat sesekali mengikuti pengajian
yang dikelola Wahidin. Ketika kasus Talangsari meledak, Wahidin hilang
bagai ditelan bumi. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti proses hukum
sebagaimana Nurhidayat dan sebagainya, karena buron hingga kini.
Wahidin
AR Singaraja alias Zainal kelahiran Dusun Betung, Kecamatan Cempaka,
Kabupaten Ogan Komering Ulu, Palembang, merupakan anggota tertua dari
empat sekawan yang disebut-sebut sebagai aktivis dari Jakarta. Wahidin
lahir pada tanggal 24 Agustus 1948. Meski sempat merencanakan gerakan
makar di Talangsari bersama-sama dengan Nurhidayat, Sudarsono dan Fauzi
Isman, dan ikut menjalin kesepakatan dengan anggota tim perunding
Warsidi, kasus Talangsari keburu meledak (7-8 Februari 1989), sebelum ia
sempat menginjakkan kakinya untuk hijrah dan menetap di dukuh
Cihideung.
14231910151093951776
Nama
lain yang layak dikutip di sini adalah Abdul Haris alias Haris Amir
Falah. Ia sempat menjadi bagian gerakan Usroh Abdullah Sungkar sejak
1984, dan pada tahun 1987 pernah menjadi bagian dari kelompok Nurhidayat
yang di kemudian hari merancang gerakan makar di Talangsari. Ketika itu
Nurhidayat mengawali persiapan perangnya dengan membentuk empat shaf
yang dipimpin oleh empat orang.
Pertama, Shaf Ali dipimpin oleh Nurhidayat (mengurusi masalah kemiliteran).
Kedua, Shaf Usman dipimpin oleh Sudarsono (mengurusi masalah pendanaan).
Ketiga, Shaf Abu Bakar dipimpin oleh Haris Amir Falah (mengurusi masalah dakwah).
Keempat, Shaf Umar dipimpin oleh Arifin Agule (mengurusi masalah perhubungan).
Belakangan,
Haris mengundurkan diri, sehingga ia tidak terlibat kasus Talangsari.
Nama Haris Amir Falah kembali mencuat ketika ia ikut mendirikan MMI
(Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan terakhir kali, Haris menjabat
sebagai Ketua MMI Wilayah DKI Jakarta. Ketika Abu Bakar Ba’asyir mundur
dari MMI dan mendirikan Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), Haris Amir Falah
merupakan salah satu pendirinya. Bersama-sama dengan Abu Bakar Baasyir
dan Fauzan Al-Anshari, Haris Amir Falah hengkang dari MMI.
Ibarat
derasnya sungai, gerakan Usroh Abdullah Sungkar mengalir hingga ke
Lampung, menghasilkan radikalisme ala Warsidi (1989). Sebelumnya, ia
mengalir ke Tanjung Priok (kasus Tanjung Priok 1984).
Kalau
saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan
saat itu juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi sebuah basis
pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme
berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok,
clurit atau bendorit (perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit).
Satu hingga dua dasawarsa kemudian, radikalisme itu sudah menjadi
sesuatu yang sangat mengerikan, antara lain berupa bom bunuh diri
sebagaimana pernah terjadi di JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli
2009.
Komnas HAM dan Kontras Menstigma Islam?
Sejak
radikalisme Talangsari ala Warsidi dibungkam, praktis sekitar satu
dasawarsa kemudian radikalisme –terutama yang ditandai sebagai ekstrim
kanan– tidak pernah muncul ke permukaan. Artinya, penumpasan gerakan
radikal Talangsari yang dimotori oleh anak asuh Abdullah Sungkar –atau
mereka yang pernah menjadi anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar–
ternyata cukup efektif mengamankan wilayah Indonesia dari aksi serupa
setidaknya untuk masa sekitar satu dasawarsa ke depan.
Menjaga
keutuhan NKRI lebih penting dibandingkan dengan segalanya, termasuk
adanya kemungkinan kesalahan tehnis di dalam penanganan gerakan radikal
dalam bentuk apapun juga. Hal inilah yang seharusnya dipahami oleh para
pegiat HAM. Jangan hanya mencari-cari kesalahan tehnis dari upaya
konstruktif mengamankan wilayah Indonesia dari ancaman perbuatan
radikal, dengan alasan HAM.
Kami
para pelaku kasus Talangsari sendiri sudah berusaha sedemikian jujur
dan terus terang mengakui, bahwa peristiwa itu memang sebuah gerakan
radikal, sebuah peperangan yang direncanakan, sebuah perlawanan terhadap
negara kesatuan RI yang sah yang didasarkan pada doktrin keagamaan
tertentu yang waktu itu kami yakini kebenarannya. Kini, itu semua sudah
kami posisikan sebagai lembaran masa lalu yang tak layak diungkit karena
begitu menakutkan dan menyakitkan.
Para
pelaku Talangsari sudah sepenuhnya menyadari bahwa radikalisme di
Talangsari tak perlu diungkit meski dengan alasan HAM sekalipun. Apalagi
pengungkapan kembali kasus itu memanfaatkan orang-orang yang tidak
layak dijadikan narasumber. Komnas HAM dan Kontras sebaiknya arif
bijaksana menyikap hal ini. Tidak ada seorang pun yang mau masa lalunya
diungkap. Apalagi masa lalu yang penuh kegetiran.
Seolah-olah
Komnas HAM dan Kontras memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan
citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.
Seolah-olah Komnas HAM dan Kontras selalu ingin menjaga ingatan
masyarakat tentang radikalisme yang kami lakukan atas nama agama di masa
lalu tetap hidup hingga kini. Bila Komnas HAM dan Kontras bersikap
demikian, maka jangan heran bila ada sebagian dari umat Islam yang
merasa terusik dengan sikap Komnas HAM dan Kontras. Bahkan, jangan heran
bila ada sebagian umat Islam yang justru memposisikan Komnas HAM dan
Kontras sebagai lembaga yang mengidap Islamophobia, karena dianggap suka
menghidup-hidupkan kasus masa lalu kami tentunya dalam rangka memberi
stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam secara keseluruhan.
Sebagai
pelaku, kami menyadari bahwa apa yang kami lakukan saat itu telah
melukai umat Islam pada umumnya. Kami hanyalah sebagian kecil saja dari
umat Islam Indonesia yang berjumlah ratusan juta orang. Namun karena
ulah kami yang segelintir ini, umat Islam pada umumnya menjadi ikut
ternoda. Apakah noda (stigma) ini yang sedang dihidup-hdupkan oleh
Komnas HAM?
Komnas HAM Membela Pelaku Makar?
Letnan
Jenderal TNI (purnawirawan) Saiful Sulun mantan Pangdam Brawijaya dan
mantan Wakil Ketua DPR RI yang juga menjabat sebagai Koordinator Forum
Komunikasi Punawirawan TNI/Polri pernah mengatakan, kepentingan politis
di balik upaya pengusutan kembali kasus Talangsari oleh Komnas HAM lebih
kental dibanding keinginan menyelesaikan kasus tersebut. (Rakyat
Merdeka, 6 Maret 2008).
1423191077289657892
Salah
satu pelaku Talangsari, Fadillah, yang juga pernah menjadi bagian dari
gerakan Usroh Abdullah Sungkar pernah mengatakan, “…kami merasa
direndahkan, jika kasus Talangsari disebut sebagai pelanggaran HAM.”
Pernyataan
itu disampaikan Fadillah saat diwawancarai harian Rakyat Merdeka 16
Juli 2007. Ketika itu Fadillah beralasan, “Kami ini pejuang. Kasus
Talangsari itu bukan pelanggaran HAM, tapi perang antara aparat
pemerintah dengan kami sebagai mujahidin yang ingin mendirikan hukum
Islam dengan cara apapun dan risiko apapun. Saat itu, kami berkeyakinan,
mati adalah syahid, kalau ditawan adalah ujian. Tidak ada kata-kata
pelanggaran. Mana ada aktivis DI yang teriak-teriak minta pengusutan
pelanggaran HAM termasuk minta kompensasi, tidak ada karena memang
itulah prinsip utamanya kita berjuang.”
Kasus
Talangsari adalah serpihan gerakan makar Darul Islam (DI/TII). Kalau
kasus Talangsari (1989) yang tergolong makar dapat diungkap kembali atas
nama HAM, maka pemberantasan gerakan DI/TII di masa lampau (1960-an)
pun dapat diungkap kembali atas nama HAM. Begitu juga dengan kasus makar
lainnya, dapat diungkap lagi atas nama HAM.
Sumber: