Oleh RIYANTO (Mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi)
KALAU
saja saya tidak ditugaskan oleh Warsidi membebaskan anggota jamaah kami
yang ditangkap aparat, boleh jadi saya sudah tewas di Talangsari ketika
aparat Korem Garuda Hitam mendatangi Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari
III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah, tempat
komunitas Warsidi berada, untuk menjemput jenazah Kapten Soetiman yang
tewas dibunuh mbah Marsudi (kakak Warsidi) pada hari sebelumnya.
Warsidi
dan Talangsari adalah dua hal yang takkan pernah terlupakan sepanjang
hidup saya. Warsidi merupakan salah satu dari sekian banyak orang Jawa
yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Lampung. Sejak sebelum
kemerdekaan, sekitar tahun 1937, Warsidi sudah mengikuti orangtuanya ke
Lampung, tepatnya di kecamatan Batanghari. Barulah sejak Juni 1988
Warsidi bersama isterinya menetap di pedukuhan Cihideung yang merupakan
bagian dari Dusun Talangsari III yang baru diresmikan sejak 1 Januari
1988.
Warsidi
sebenarnya sosok yang santun, paham keagamaannya juga biasa-biasa saja.
Namun, ia banyak bersentuhan dengan berbagai kalangan. Misalnya,
sebagaimana pernah diungkap majalah Editor edisi 25 Februari 1989,
Warsidi sempat berguru kepada seseorang bernama Anwar,
pendiri Jamaah Darul Hadist yang kelak berganti nama menjadi Islam
Jamaah dan berganti lagi menjadi Lemkari hingga akhirnya menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia), yang pernah difatwa sesat oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Kelompok
ini berpaham ekstrem, sebagaimana bisa dinilai dari sejumlah pidato
Anwar sang pendiri Jamaah Darul Hadits untuk kecamatan Batanghari,
Lampung Tengah, yang selalu mengkritik pemerintah. Ketika Warsidi pindah
ke Kecamatan Way Jepara, khususnya di pedukuhan Cihideung, pemahaman
ekstrem itu tetap dibawanya.
Di Cihideung, Warsidi bersentuhan dengan Ir Usman,
sarjana tehnik lulusan Universitas Gajah Mada yang pernah menjadi
tenaga pengajar di ponpes Al-Islam di Desa Labuhan Ratu (Way Jepara)
pimpinan KH Djunaidi yang juga dikenal cukup baik oleh Warsidi. Ponpes
Al-Islam berjarak sekitar limabelas kilometer dari pemukiman komunitas
Warsidi di Cihideung. Melalui Usman inilah Warsidi mulai mengenal konsep
Iman, Hijrah dan Jihad ala Kartosoewirjo (proklamator Negara Islam
Indonesia), yang juga dilanjutkan oleh Abdullah Sungkar semasa masih
menjadi bagian dari NII maupun sesudahnya.
Karena
ada kekurang-harmonisan antara Usman dengan KH Djunaidi, maka Usman pun
hengkang ke Cihideung, bergabung menjadi bagian dari komunitas Warsidi.
Beberapa hari sebelum peristiwa Talangsari meletus, Usman menghilang
beserta isteri dan putranya yang baru lahir. Usman juga membawa serta
sekitar sepuluh orang santri yang masih tergolong anak-anak namun sudah
diajari memanah.
Selain
bersentuhan dengan Anwar dan Usman, Warsidi juga bersentuhan dengan
Zainal Arifin bin M. Amin, seorang aktivis NII Lampung. Ketika itu
(1974-1978) Zainal Arifin menjabat sebagai sekretaris NII Lampung, sedangkan Ketua (Gubernur) NII Lampung adalah Abdul Kadir Barodja dan Wakilnya adalah Farid Ghozali. Di tahun 1985, Abdul Kadir Barodja diduga terlibat kasus peledakan Candi Borobudur.
Sehari-hari
Zainal berjualan jahe gajah sambil berdakwah. Ketika ia sedang
berdakwah di Umbul Mas (Lampung Tengah), ia bertemu dengan Warsidi
bahkan sempat bermalam di kediaman Warsidi (1987). Di tempat Warsidi,
Zainal bertemu dengan salah seorang aktivis NII dari Jakarta bernama Purson, yang juga merupakan teman dekat Abdul Kadir Barodja.
Keberadaan
Warsidi dan dukuh Cihideung kian dikenal di kalangan pergerakan Islam,
terutama komunitas DI/TII (NII) termasuk komunitas DI/TII (NII) yang
berada di Jakarta dan Jawa pada umumnya. Ini semua berkat kemampuan
Usman menjalin komunikasi dengan dunia di luar Cihideung, sesuatu yang
tidak dimiliki Warsidi tentunya. Usman mempromosikan keberadaan
Cihideung sebagai lokasi yang layak untuk dijadikan tempat berhijrah
dalam rangka mewujudkan jihad. Salah satu daya tarik Cihideung adalah
karena letaknya yang relatif dekat dari Jakarta. Cihideung menjadi
tempat yang cocok untuk menerapkan konsep Iman, Hijrah, dan Jihad ala
Kartosoewirjo dan para pengikutnya saat itu.
Promosi gethok tular
alias dari mulut ke mulut itu pun akhirnya hinggap ke telinga empat
aktivis dari Jakarta, yaitu Nurhidayat, Sudarsono, Fauzi Isman, dan
Wahidin. Pada bulan Oktober 1988, Nurhidayat mendapat informasi tentang
keberadaan sebuah kelompok pengajian yang memiliki tanah seluas 1,5
hektar di dukuh Cihideung, Lampung, yang dipimpin oleh Warsidi. Tak
perlu waktu lama, Nurhidayat pun mengutus Fauzi Isman, Wahidin dan
Sofyan untuk berangkat ke Lampung guna menemui Warsidi dalam rangka
konfirmasi, dan bila memungkinkan menawarkan kerjasama membangun
perkampungan muslim.
Tak
berapa lama, kunjungan itu mendapat balasan dari kelompok Cihideung.
Bertempat di rumah kontrakan Sudarsono, di Jakarta, masih di bulan
Oktober 1988, digelar pertemuan antara kelompok Jakarta dengan utusan
dari Lampung (utusan Warsidi). Utusan dari Lampung diwakili oleh Ir.
Usman, Umar, Heri dan Abdullah (Dullah). Intinya, tawaran kelompok
Jakarta dapat diterima oleh kelompok Lampung (Warsidi), yaitu membentuk
perkampungan muslim (Islamic Village) di Cihideung.
Sekitar
dua bulan kemudian, diadakan pertemuan Cibinong pada tanggal 12
Desember 1988 untuk memantapkan rencana membentuk perkampungan muslim di
Cihideng. Melalui pertemuan Cibinong ini disepakati pembentukan Dewan
Amir (pimpinan bagi para jamaah mujahiddin), dan Nurhidayat dipilih
sebagai Amir Musafir. Selain itu, ditetapkan sebuah nama yaitu Front Komando Mujahiddin Fisabilillah
sebagai nama gerakan yang di dalamnya memiliki pasukan khusus. Kepada
anggota pasukan khusus diprogramkan mendapat pembinaan berupa bela diri
serta keterampilan memanah. Mereka memang disiapkan untuk menghadapi
musuh di medan perang.
Saat
itu juga, Nurhidayat sebagai Amir Musyafir dilantik oleh Dewan Amir.
Tugas Amir Musyafir adalah menjalankan program hijrah bagi para jama’ah
di Jakarta dan Jawa yang akan hijrah ke Cihideung. Selain Nurhidayat
yang mempunyai hak prerogatif merekomendasikan calon muhajirin ke
Cihideng adalah Sudarsono dan Fauzi Isman.
Sebagai
tindak lanjut pertemuan Cibinong, Nurhidayat bersama Fauzi Isman
berangkat ke Cihideung untuk melakukan pembicaraan secara langsung
dengan Warsidi (pimpinan jama’ah Cihideung, Talangsari). Gayung pun
bersambut. Ketika itu Warsidi menerima hasil keputusan pertemuan
Cibinong 12 Desember 1988 yang menetapkan Cihideung sebagai basis perjuangan (jihad).
Gagasan membangun basis perjuangan antara lain direalisasikan dengan
membekali pasukan dengan latihan memanah dan bela diri silat yang
dipimpin oleh Dullah. Pembekalan itu ditujukan untuk memerangi kaum kafir, yaitu semua orang yang bukan jama’ah Warsidi.
Salah
satu kesepakatan yang telah dijalin adalah Jamaah Warsidi di Cihideung
bersedia menjadi “kaum Anshor” bagi para Muhajirin dari Jakarta dan
Jawa, sedangkan pedukuhan Cihideung diposisikan sebagai “Madinah” yang
harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Selain itu, juga disepakati pemberlakuan sejumlah doktrin kepada calon muhajirin. Pertama,
mentakfirkan selain anggota jamaahnya. Siapa saja yang tidak mengikuti
hukum Allah maka ia atau mereka tergolong kafir. Termasuk, para ulama
yang menghalangi mereka dalam menegakkan hukum Allah, terolong kafir dan
halal darahnya. Kedua, menolak Pancasila sebagai azas. Alasannya, pemerintah dengan Pancasilanya telah menjauhkan umat dari perilaku Islami. Ketiga,
puasa selang-seling selama 40 hari, membaca wirid dan sholat malam
berjama’ah supaya jiwanya siap menjadi syahid. Bagi yang mampu
menyelesaikan ketiga doktrin tadi, maka ia layak memperoleh rekomendari
dari Nurhidayat untuk hijrah ke Cihideung bergabung dengan Warsidi.
Warsidi
sendiri, setelah bersentuhan dengan aktivis dari Jakarta, menjadi kian
vokal, misalnya dalam setiap khotbahnya Warsidi menebarkan permusuhan:
pemerintah divonis kafir, dan Pancasila adalah berhala. Semangat
mendirikan Negara Islam sudah semakin tegas terlihat. Penolakan Warsidi
terhadap keberadaan pemerintahan Soeharto (Orde Baru) kala itu,
diwujudkan dengan menolak membayar pajak, menolak mengantongi Kartu
Tanda Penduduk (KTP).
Para muhajirin
dari Jawa dan daerah lainnya, yang sepaham dengan Warsidi, merasa tidak
perlu mengikuti prosedur administrasi kependudukan yang berlaku karena
prosedur itu dibuat oleh pemerintahan kafir. Oleh karenanya, mereka
tidak melaporkan diri ke aparat setempat atas kedatangannya ke dukuh
Cihideung. Jumlah para muhajirin ini setiap hari kian bertambah, sehingga menimbulkan tanda tanya di dalam diri Sukidi.
Kedatangan para muhajirin
yang tiba-tiba dalam jumlah relatif besar (sekitar 100 jiwa), ternyata
tidak diimbangi dengan kesiapan logistik: sandang, pangan, papan.
Sehingga, terjadilah pencurian singkong milik warga sekitar, berumpun
bambu, dan berbutir kelapa. Para muhajirin ini merasa berhak
atas itu semua, karena semua itu pada dasarnya milik Allah, dan Allah
mewariskan bumi dan segala isinya bagi orang-orang saleh, dan yang
dimaksud dengan orang-orang saleh adalah kelompok mereka sendiri.
1423204430590938319
Tak
cuma itu, sejumlah anak buah Warsidi pernah mendatangi Sukidi dengan
membawa-bawa golok dan pedang, seolah-olah menantang perang. Maka,
masyarakat pun menjadi tak tenang, resah dan ketakutan. Akibatnya,
sebagian dari warga pun mengungsi meski harus meninggalkan harta-benda
miliknya. Tak ketinggalan Sukidi dan keluarganya yang memutuskan pindah
ke dusun lain, untuk menjauh dari teror yang dilancarkan jamaah Warsidi.
Meski
begitu, Sukidi tidak tinggal diam. Sebagai Kepala Dusun, semua itu ia
laporkan kepada atasannya, Amir Puspa Mega, Kepala Desa Rajabasa Lama,
pada tanggal 11 Januari 1989. Berdasarkan laporan Sukidi itu, Amir Puspa
Mega mengirimkan sepucuk surat kepada Zulkifli Maliki, Camat Way
Jepara, pada tangal 12 Januari 1989.
Hari
itu juga, Camat Way Jepara Zulkifli Maliki menyurati Warsidi dan Jayus,
juga Amir Puspa Mega dan Sukidi. Surat Camat diterima Warsidi sore
hari, yang langsung dibalasnya beberapa menit setelah dibaca. Isinya:
Dengan hormat,
Bahwa surat yang kami terima, sudah kami ketahui isinya.
Perlu diketahui kami dalam kesibukan, dalam mengisi pengajian di berbagai tempat.
Oleh sebab itu kami tidak bisa datang ke Kantor Bapak.
Kami sebagai orang Islam yang sangat menjunjung tinggi Sunnatulloh dan
Sunnaturrosul dalam sebuah Hadist dikatakan:
Sebaik-baiknya Umaro ialah yang mendatangi Ulama dan seburuk-buruknya Ulama
yang mendatangi Umaro.
Oleh karenanya kami mengharap kedatangan Bapak di tempat kami untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya.
Demikian harap maklum…
Semoga Allah memberi hidayahNya.
JADI, Warsidi telah memposisikan dirinya sebagai ulama yang seharusnya didatangi oleh umaro.
Untuk
memenuhi undangan Warsidi, esok harinya 13 Januari 1989 menjelang Ashar
sekitar pukul 15:00 waktu setempat, Camat Way Jepara Zulkifli Maliki
bersama Kepala Desa Rajabasa Lama, Kepala Desa Labuhan Ratu, Kepala
Dusun Talangsari III, Kepala Dusun Kelahang dan beberapa staf tiba di
kediaman Warsidi.
Pertemuan
yang berlangsung di rumah panggung selama satu jam itu, terasa
menegangkan dan tidak bersahabat. Ketika itu, ada sekitar 30 orang di
dalamnya. Zulkifli Maliki sempat mendengar seseorang berbisik: “Bunuh
saja Camat itu”. Suara itu datang dari arah belakang.
Mengakhiri
pertemuan itu, menjelang pamit, Zulkifli mengundang Warsidi untuk
menemuinya di kantor Camat. Ketika itu Warsidi berjanji akan memenuhi
undangan tersebut, Sabtu, 14 Januari 1989. Namun hingga akhir hayatnya
Warsidi tak kunjung datang.
Dua
minggu kemudian, 27 Januari 1989, Camat Way Jepara Zulkifli Maliki
melaporkan hal ini kepada Kapten Soetiman Komandan Koramil Way Jepara.
Esok harinya, sepucuk surat dilayangkan Kapten Soetiman kepada Warsidi,
untuk segera memenuhi panggilan Camat, paling lambat 1 Februari 1989.
Tanggal
1 Februari 1989, Warsidi tak juga datang. Malah menurut pantauan Lurah
Rajabasa Lama Amir Puspa Mega, Warsidi dan anak buahnya melakukan
kegiatan tak lazim, seperti belajar memanah, latihan beladiri, dan
merakit bahan peledak dari botol bekas minuman anggur. Nampaknya mereka
sedang menyiapkan genderang perang untuk ditabuh.
Esok
harinya, 2 Februari 1989, Kepala Dusun Talang Sari III Sukidi
menyelinap mendekat lokasi. Dari balik semak, ia melihat kejanggalan:
ada sejumlah anak muda dibalut pangsi hitam dengan ikat kepala,
bersenjata pedang, celurit, golok, dan panah. Nampaknya, genderang
perang sudah semakin siap ditabuh. Sukidi pun melaporkan temuannya
kepada Komandan Koramil Kapten Soetiman.
14232045142100165169
Pada
5 Februari 1989, Soetiman memerintahkan Serma Dahlan dan Kopda Rahman
mendekati lokasi. Malam hari sekitar pukul 23.30, keduanya mencurigai
dan menangkap 6 pemuda tanggung. Dari mereka, disita sekarung anak
panah, 5 bilah golok, 2 bilah pedang, dan 2 paket bom molotov. Mereka
terdiri dari: Usman, Muhdi, Mursyidin, Mundiman, Abdurrahman, dan
Hardiwan. Seorang lagi benama Sadar alias Joko –kakak kandung Jayus
alias Dayat bin Karmo yang kala itu berusia sekitar 40 tahun– berhasil
melarikan diri sebelum sempat dibawa. Sedangkan Usman berhasil melarikan
diri di tengah jalan dalam perjalanan menuju Koramil. Ditemukannya
sejumlah perlengkapan perang seperti anak panah hingga bom molotov,
menunjukkan bahwa rencana perang memang sudah sedemikian serius.
Dini
hari tanggal 6 Februari, Warsidi mendapat kabar tertangkapnya 5 orang
jamaahnya. Tak buang tempo, pada dini hari itu juga, sekitar jam 02:00
wib, Warsidi memerintahkan saya dan kawan-kawan untuk membebaskan 5
orang jamaahnya yang katanya ditahan di Koramil Way Jepara, padahal
sebenarnya masih berada di rumah Sukidi (Kepala Dukuh Talangsari III).
Saya
ditunjuk sebagai Komandan Pasukan khusus yang bertugas membebaskan 5
teman kami yang ditahan aparat. Jumlah kami 12 orang. Perlatan perang
yang kami siapkan berupa golok, panah, dan bahan peledak. Kami tiba di
Koramil Way Jepara sekitar pukul 6:00 pagi. Namun dikabarkan, bahwa
tahanan 5 jamaah Warsidi sudah dikirim ke Kodim Metro. Upaya pembebasan
ini gagal. Kami pun menuju Sidorejo untuk mengatur strategi penyerangan
di Bandar Lampung. Kami tiba di Sidorejo jam 08:00 pagi. Di Sidorejo,
kami kumpul-kumpul, makan dan shalat dzuhur di rumah pak Zamzuri.
Siang
itu Saya (Riyanto) mengutus Fadilah ke Cihideung untuk minta petunjuk
dari Warsidi mengenai langkah selanjutnya. Fadilah tiba di Cihideung
sekitar jam 14:00 wib, pasca kejadian tewasnya Kapten Soetiman.
Tanggal
6 Februari 1989 siang, sebelum Fadilah tiba, Kapten Inf. Soetiman
bersama rombongannya mendatangi Talangsari, dengan maksud melakukan
klarifikasi atas ketidak-hadiran Warsidi memenuhi panggilan Camat serta
Danramil. Klarifikasi ini disangka sebagai sebuah serangan.
Karena,
kedatangan rombongan Kapten Soetiman yang bertepatan dengan saat shalat
Dzuhur itu, diawali dengan adanya suara tembakan. Sebagian jama’ah
Warsidi yang ketika itu baru saja menunaikan shalat Dzuhur, ketika
mendengar suara letusan senjata itu langsung berhamburan menjemput
rombongan Kapten Soetiman, dibarengi dengan teriakan Allahu Akbar,
takbir yang susul-menyusul, juga lesatan anak panah dari balik semak
yang mengarah ke tubuh Soetiman.
Puluhan
anak buah Warsidi lainnya berhamburan keluar dari rumah-rumah bambu
sambil mengacungkan berbagai senjata, menyerang rombongan Kapten
Soetiman. Mayor Sinaga dengan sigap memerintahkan mundur. Seketika itu,
kendaraan Sinaga berbelok arah dengan menerjang pepohonan, meninggalkan
lokasi. Berbeda dengan Sinaga yang selamat, Kapten Soetiman menjadi
bulan-bulanan, ia dikejar-kejar, tubuhnya dikoyak-koyak, dan lehernya
ditebas sampai tewas oleh mbah Marsudi.
Kalau
saja Mayor Sinaga tidak sigap memerintahkan mundur, mungkin akan banyak
korban yang jatuh, tidak hanya Kapten Soetiman. Ketika itu, selain
Mayor Sinaga dan Kapten Soetiman, rombongan terdiri dari Dul Bakar
(Kapolsek Way Jepara), Amir Puspa Mega (Kepala Desa Rajabasa Lama),
Sukidi (Kepala Dusun Talangsari III), Dahlan (Kepala Tata Usaha
Koramil), Drs. Zulkifli Maliki (Camat Way Jepara), Polisi Pamong Praja,
dan seorang personil KUA (Kantor Urusan Agama).
Jenazah Kapten Soetiman kemudian dikuburkan ba’da Ashar di lokasi tempat kejadian. Persisnya di jalan menuju ke Hujan Mas.
Satu
pucuk pistol jenis FN dan dua unit sepeda motor yang tertinggal di
lokasi karena ditinggal kabur oleh rombongan Mayor Sinaga, akhirnya
diambil alih.
Pasca
pertempuran, kira-kira sore hingga ba’da Maghrib, terjadi eksodus
besar-besaran. Jumlahnya mencapai puluhan orang. Mereka meninggalkan
lokasi untuk menuju ke berbagai tempat seperti Jakarta dan berbagai
daerah di Sumatera Selatan. Sehingga jama’ah Warsidi yang tertinggal
saat itu hanya 58 jiwa (termasuk wanita dan anak-anak).
Pasca
terbunuhnya Kapten Soetiman, 6 Februari 1989, sore hari sekitar jam
17:00 wib Fadillah kembali ke Sidorejo, dengan membawa perintah dari
Warsidi untuk membuat kekacauan di Tanjung Karang, dalam rangka
mengalihkan perhatian aparat pasca terbunuhnya Kapten Soetiman.
Perintah
Warsidi tersebut disampaikan Fadillah kepada saya selaku Komandan
Pasukan Khusus. Saya langsung membuka forum musyawarah di antara sesama
anggota pasukan khusus (12 orang), pak Zamzuri (tuan rumah) dan pak
Sudiono (almarhum), juga beberapa anggota jamaah pengajian yang dibina
pak Zamzuri.
Ba’da
Maghrib perintah tersebut mulai dilaksanakan. Dari Sidorejo tiga orang
berangkat menuju Simpang Sri Bawono untuk mencarter colt angkutan umum.
Setelah memperoleh colt carteran (namun pada akhirnya tidak dibayar sama
sekali), ketiganya kembali ke Sidorejo untuk menjemput anggota pasukan
khusus lainnya yang masih siaga di rumah Zamzuri. Kesebelas anggota
pasukan khusus ini berangkat (minus Sony yang tetap tinggal di Sidorejo)
ke Tanjung Karang untuk melaksanakan perintah Warsidi.
Di
tengah jalan, Pratu Budi Waluyo, personel TNI dari Batalyon 143 Garuda
Hitam mendesak ikut colt Wasis yang sudah dicarter ini, untuk menuju
Tanjung Karang.
Selama
perjalanan menuju Tanjung Karang, terjadi dialog antara kami bersebelas
dengan Pratu Budi Waluyo. Dari dialog itulah diketahui, bahwa Pratu
Budi Waluyo besok (7 Februari 1989) akan ikut melakukan penyerangan ke
Cihideung. Mengetahui hal ini, saya selaku Komandan pasukan khusus
berinisiatif menghabisi Pratu Budi Waluyo dengan mendapat bantuan dari
anggota pasukan lainnya. Pratu Budi Waluyo dihujani tusukan hingga
tewas.
Sopir
(bernama Sabrawi) dan kenek angkutan umum yang melihat kejadian ini,
sudah masuk dalam rencana untuk kami bunuh. Namun berhasil melarikan
diri dalam keadaan luka parah. Sopir dan kenek yang berhasil lolos dari
maut inilah yang kemudian melaporkan kejadian berdarah dan perampasan
colt kepada kawan-kawan sesama sopir, juga kepada Polisi.
Karena
sopir dan kenek melarikan diri, kemudi diambil alih oleh Sugeng
Yulianto, dan melanjutkan perjalanan ke Tanjung Karang. Di Tanjung
Karang, sebelum melakukan aksi, diputuskan untuk mengisi bahan bakar
dulu di pom bensin. Sialnya, lampu mobil mati, sehingga tidak layak
untuk tetap digunakan dalam melakukan aksi ke Polres Tanjung Karang dan
Korem Garuda Hitam. Karena dikhawatirkan, dalam keadaan lampu mobil yang
tidak hidup, di tengah jalan keburu kena tilang atau ditangkap
polantas. Akhirnya rencana serangan ke Polres Tanjung Karang dan Korem
Garuda Hitam gagal dilaksanakan. Sasaran dipindahkan ke kantor Lampung
Post. Di kantor Lampung Post, saya melemparkan bom molotov, namun tidak
berhasil meledak.
Setelah
gagal meledakkan kantor Lampung Post, kami melanjutkan perjalanan ke
Metro Lampung. Di tengah jalan ada razia polantas. Kendaraan distop oleh
polantas, namun Sugeng Yulianto menolak, malahan polantas tadi ditabrak
hingga pingsan, setelah sebelumnya berusaha meloncat untuk menghindari
serudukan colt yang dikemudikan Sugeng.
Setelah
menyeruduk polantas, diputuskan untuk menyembunyikan mobil ke hutan
Tigeneneng (Tegineeng). Namun belum sampai disembunyikan, mobil telah
lebih dulu terperosok ke dalam parit sehingga harus ditinggalkan. Kami
bersebelas pun masuk ke dalam hutan Tigeneneng (Tegineeng), bersembunyi
hingga jam 07:00 pagi hari berikutnya (tanggal 7 Februari 1989).
Kami
bersebelas belum tahu bahwa saat itu sejak pagi hari tadi aparat sudah
mengepung Cihideung, dan sudah berlangsung peperangan antara komunitas
Warsidi dengan aparat. Saya selaku Komandan pasukan mengutus 3 orang
(Beni, Muchlis dan Muhadi) ke Cihideung untuk meminta petunjuk dari
Warsidi. Ternyata Muhadi kembali ke hutan hanya seorang diri (tanpa Beni
dan Muchlis), sekitar jam 12:00 siang. Muhadi memperingatkan agar
pasukan segera meninggalkan hutan karena sudah dikepung aparat.
Muhadi
pun bergabung dengan Beni dan Muchlis berinisiatif melakukan aksi
penyerangan ke Kodim Metro tanpa sebelumnya mendapat perintah dari saya
selaku Komandan pasukan.
Setelah
mendapat peringatan dari Muhadi, saya selaku Komandan memutuskan untuk
ke Cihideung, dengan menempuh jalur berbeda. Anggota pasukan yang
tersisa 8 orang saya bagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama
terdiri dari saya (Riyanto), Zainuri dan Heriyanto. Kelompok kedua,
terdiri dari Fadhilah dan Tardi Nurdiansyah. Kelompok ketiga terdiri
dari Sugeng Yulianto, Abadi Abdullah dan Sadikin.
Kelompok
pertama tiba di Cihideung sekitar jam 16:00 wib, sore hari, ketika
perang sudah usai. Dua kelompok lainnya ada yang tiba pukul 19:00 dan
20:00 malam. Ketika itu Cihideung sudah rata dengan tanah.
Sebelumnya,
sekitar jam 05:30 wib tanggal 7 Februari 1989, tiga pleton tentara, 50
orang satuan Brimob, mengepung Cihideung dari empat penjuru. Petugas
memperingatkan Warsidi berulang-ulang melalui pengeras suara untuk
menyerahkan jenazah almarhum Kapten Soetiman.
(Saya proaktif merekonstruksi kejadian tersebut di dalam memori saya, dengan jalan bertukar informasi dengan sesama pelaku saat kami berada di tahanan. Di tahanan kami saling bertukar dan melengkapi informasi…)
Saat
itu, Tidak ada kata kompromi. Yang dikumandangkan adalah seruan
berjihad. “Kami berhamburan keluar sambil membawa panah dan golok untuk
menyerang petugas yang bersenjata lengkap.”
Pada
peristiwa ini, Kopda Yatin tersungkur dengan punggung tertancap panah
beracun. Jama’ah kami yang ketika itu berjumlah 58 jiwa (termasuk wanita
dan anak-anak), sebagian besar meninggal. Laki-laki dewasa meninggal
karena pertempuran, sedangkan wanita dan anak-anak meninggal karena ikut
terbakar bersama pondok tempat mereka selama ini bermukim. Pondok
dibakar oleh Alex.
Sementara
itu, pada hari dan tanggal yang sama, 7 Februari 1989, di Sidorejo yang
terpisah jarak sepanjang 30 kilometer dari Cihideung yang saat itu
sedang bergejolak peperangan, sekitar pukul 08:00 wib seorang wanita
anggota Banpol (Bantuan Polisi) bernama Atim mencurigai kediaman Zamzuri
sebagai tempat persembunyian pasukan khusus Jama’ah Warsidi yang malam
tadi melakukan aksi teror di Bandar Lampung, merampas colt angkutan umum
dan membunuh Pratu Budi Waluyo.
Atim
bertemu dengan istri Zamzuri, dan dipersilakan masuk. Tak berapa lama,
Atim keluar lagi dari rumah itu, sambil dikejar oleh seseorang dari
dalam rumah yang di tangannya mencencang sebilah golok sambil
meneriakinya “maling…” Atim dikejar hingga sejauh 200 meter. Atim pun
masuk ke rumah salah satu penduduk setempat, Mukaji, untuk menyelamatkan
diri.
Si pengejar
tidak terus mengejar hingga ke dalam rumah Mukaji, tetapi berbalik arah
ke rumah Zamzuri. Di tengah jalan, di depan Pos Polisi ia dicegat Serma
Soedargo (Kepala Pos Polisi) dan memerintahkannya untuk berhenti.
Permintaan itu ditolak, dan berlanjut dengan terjadinya perkelahian.
Serma
Soedargo tewas dibacok, setelah sebelumnya sempat menembak Giono,
anggota jamaah Warsidi di Sidorejo. Korban lain adalah Arifin Santoso
(Lurah Sidorejo) ditebas batang lehernya oleh Zamzuri hingga tewas di
tempat.
Masih ada
satu lagi korban dari aparat kepolisian bernama Sembiring. Ia ketika itu
sudah roboh di tanah dan dipegangi oleh pak Roni menjadi sasaran tembak
dari jarak dekat oleh salah satu jama’ah Warsidi bernama Fahruddin.
Namun karena kurang terbiasa menggunakan senjata api, tembakan itu
meleset dan justru mengenai kaki pak Roni. Sembiring ketika itu
pura-pura mati, namun begitu ada keempatan lari, ia pun melarikan diri
secepat-cepatnya.
Panah Beracun, Bom Molotov dan Latihan Beladiri
Salah
satu pelaku kasus Lampung yang cukup berperanan adalah Sukardi, mantan
anggota Usroh Abdullah Sungkar yang kemudian “hijrah” ke Cihideung,
benar-benar dalam rangka mempersiapkan sebuah peperangan melawan
pemerintahan RI yang disebut sebagai pemerintahan kafir.
14232046031672785601
Menurut
pengakuan Sukardi, setelah ia bergabung menjadi bagian dari jama’ah
Warsidi, aktivitas yang dilakukannya adalah mengintensifkan ibadah rutin
dengan cara berjama’ah di Mushollah Mujahiddin. Tak hanya ibadah,
Sukardi dan jama’ah Warsidi juga menggelar sejumlah diskusi membahas
perjuangan umat Islam. Juga, mengkritisi politik rezim Soeharto yang
memberlakukan Azas Tunggal Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemberlakuan azas
tunggal dinilai oleh para jama’ah Warsidi sebagai perampasan hak Allah
dan karena itu wajib hukumnya untuk ditentang dan diperangi. Selain
beribadah dan ‘berpolitik’, kegiatan lainnya adalah bercocok tanam di
ladang yang dihibahkan Jayus alias Dayat bin Karmo kepada Warsidi.
Sejumlah
kegiatan yang menjadi bagian dari persiapan perang antara lain
diwujudkan dengan membuat parit dengan kedalaman satu setengah meter
(setinggi dada orang dewasa) di sekitar pemukiman pondok pengajian
Warsidi, yang dimaksudkan sebagai bungker pertahanan. Juga, membuat bom
molotov dari berbagai botol kosong yang diisi serbuk gergaji dan bensin
kemudian dilengkapi sumbu penyulut. Menurut pengakuan Sukardi, bom
molotov tersebut merupakan rancangan Ir. Usman, selama ia masih menjadi
bagian dari komunitas Warsidi. Sebagian besar bom molotov dibuat di
kediaman Imam Bakri, yang merupakan penduduk asli Cihideung yang secara
sosial ekonomis lebih tinggi dibanding penduduk Cihideung lainnya. Imam
Bakri selain memiliki rumah yang besar dan mesin penggiling padi, ia
juga mempunyai ladang yang luas.
Selain
membuat bom molotov, persiapan perang juga diwujudkan dengan membuat
sejumlah panah beracun. Panah beracun (dari getah poh) ini merupakan
rancangan Sudarsono, salah satu dari anggota empat sekawan yang dikenal
sebagai “aktivis dari Jakarta”. Panah ini terbuat dari jeruji sepeda,
becak dan sepeda motor. Bentuknya unik, panjangnya sekitar 30 sentimeter
dan berujung lancip. Pada ujungnya yang lancip diberi pengait dari
bahan semacam timah, ekornya terbuat dari tali rafia tujuh lembar yang
dijurai dengan sisir. Anak panah ini dilengkapi dengan alat pelontar
sejenis ketapel, sehingga dapat melesat sejauh 200 meter.
Selain
panah beracun yang terbuat dari bahan jeruji becak atau sepeda, ada
juga jenis panah beracun lain yang terbuat dari belahan atau
potongan-potongan kecil bambu yang dilengkapi dengan jenis racun yang
berbeda. Panah beracun dari bambu ini lebarnya sekitar dua sentimeter
dan panjangnya sekitar 25 sentimeter. Racun yang digunakan berasal dari
kodok buduk, tikus dan ular berbisa yang dicincang, kemudian dilarutkan
ke dalam air kelapa hijau. Untuk menghasilkan panah beracun yang
mematikan, anak panah yang telah siap direndam ke dalam larutan beracun
tadi selama beberapa hari. Untuk mempersiapkan panah beracun ini,
Warsidi menugaskan Sukardi, Alex, Sugeng Saputra, Margo Tugino, Arifin
bin Karyan dan Muslim sebagai pembuatnya.
Para
jama’ah mempersiapkan diri dengan melakukan latihan bela diri dan
belajar memanah, di halaman terbuka tak jauh dari depan rumah Warsidi.
Latihan bela diri, belajar memanah, pembuatan panah beracun dan bom
molotov ini dipimpin oleh Alex alias Muhammad Ali atas perintah Warsidi
untuk mempersiapkan perang mempertahankan ideologi Islam. Aktivitas ini
dengan mudah dapat dilihat oleh warga setempat yang sedang menuju ke
ladang mereka masing-masing.
Persiapan
perang yang diwujudkan dengan latihan beladiri, latihan menggunakan
anak panah beracun dan bom molotov, bukan sekedar latihan tanpa
keinginan mempraktikkannya. Keinginan itu ternyata begitu tinggi. Maka,
ketika rombongan Kapten Soetiman datang (6 Februari 1989) untuk
klarifikasi atas sikap Warsidi yang tidak memenuhi undangan Camat, hal
itu ditafsirkan dan disikapi sebagai kesempatan berjihad di medan
perang. Apalagi, sebelumnya aparat sudah melakukan penangkapan terhadap
lima dari enam petugas ronda yang ditugaskan Warsidi mengintensifkan
pengamanan di sekitar pondok.
Begitu
juga ketika pasukan Korem Garuda Hitam keesokan harinya (7 Februari
1989) mendatangi ‘markas’ Warsidi untuk mengambil jenazah Kapten
Soetiman, juga dimaknai sebagai kesempatan berjihad di medan perang.
Selama
perang berlangsung, kaum ibu dan anak-anak bersembunyi di dalam sebuah
rumah. Rumah tersebut terbakar karena terkena lemparan bom molotov yang
nyasar. Bom molotov salah sasaran itu terjadi ketika pasukan Warsidi
berhasil didesak mundur oleh pasukan Korem Garuda Hitam. Sambil mundur,
sambil melepaskan bom molotov, sehingga sasaran menjadi keliru. Dalam
peperangan ini, pasukan Korem Garuda Hitam mendapat bantuan dari warga
sekitar.
Setelah
berbilang jam kemudian, sekitar pukul 14:00 wib, pasukan Korem Garuda
Hitam dan Brimob Polri berhasil sepenuhnya menguasai keadaan. Dari
peperangan ini, sang Imam Warsidi gugur bersama sejumlah jamaahnya.
Sebagian lainnya, ditawan sebagai tahanan perang, dan sebagian lainnya
meloloskan diri seperti Jayus alias Dayat bin Karmo.
Setelah Perang Usai
Satu
hal yang sudah bisa dipastikan dari sebuah peperangan adalah jatuhnya
korban. Tidak hanya korban luka-luka, tetapi juga korban meninggal.
Kapten Soetiman telah lebih dulu gugur di dalam tugasnya sebagai
Danramil yang berusaha mengamankan wilayahnya dari potensi disintegrasi.
Dari
pihak Jama’ah Warsidi sendiri, sejumlah orang gugur, termasuk sang Imam
dan pasukan terlatihnya yang kala itu habis-habisan melawan aparat
Korem Garuda Hitam dan Brimob Polri. Sukardi, yang ketika perang
berkecamuk ditugaskan Warsidi ke Jakarta, kehilangan anak-istri dan
iparnya.
Namun
demikian, jatuhnya korban tak juga menyadarkan kami. Sukardi, misalnya,
setelah ditugaskan ke Jakarta, kemudian kembali ke Talangsari dan lolos
dari maut di sana, ia segera kembali ke Jakarta menghadap Nurhidayat
sang Imam Musyafir. Ketika itu, Nurhidayat membawa Sukardi ke rumah
Abdullah Mafaid Faedah Harahap, menggelar pertemuan di sana untuk
membahas perang di Cihideung, Talangsari. Selain saya (Riyanto), Sukardi
dan Nurhidayat, hadir juga Fauzi Isman, Wahidin alias Zainal, Ridwan
Casari, dan Maulana Abdul Latif.
Pertemuan
yang dipimpin Nurhidayat itu akhirnya memutuskan melancarkan perang
lanjutan di Jakarta. Sebelum aksi perang balasan berlangsung, lebih dulu
dirancang sebuah pembentukan opini melalui sejumlah selebaran yang
menceritakan kasus Talangsari, juga dibuat rekaman kaset yang berisi
seruan jihad dari Amir Musyafir Nurhidayat.
Perang
lanjutan di Jakarta rencananya akan berbentuk menghancurkan kota
Jakarta dengan membakar pom-pom bensin, membakar Pasar Pagi dan Glodok
termasuk Tanjung Priok. Sejumlah aksi juga direncanakan akan dilakukan
di daerah Subang. Sukardi ditugaskan memimpin pasukan yang akan bergerak
di daerah Subang, Jawa Barat dengan sasaran membunuh Bupati Subang dan
membunuh setiap anggota TNI dengan panah beracun. Perang lanjutan
rencananya akan digelar pada tanggal 2 Maret 1989. Sementara itu, saya
(Riyanto) ditugaskan membuat anak panah dari jeruji-jeruji motor bersama
Ichwan Sidik dan Sukardi di dibengkel Yus Iskandar Komplek Seroja
Bekasi, Jawa Barat. Beberapa hari sebelum perang balasan berlangsung,
pada 27 Februari 1989, Nurhidayat tertangkap. Dalam hitungan jam, saya
(Riyanto) dan Sukardi yang sedang berada di markas Pondok Gede juga
tertangkap.
Detik-detik penangkapan saya (Riyanto) dan Sukardi di markas Pondok Gede kala itu, diabadikan Sukardi melalui bukunya berjudul Pertempuran Talangsari: Perang Ideologi di Tanah Lampung 1989, sebagai berikut:
1423204687765716972
Tanggal
25 Pebruari 1989, Marfa’it Harahap bersama istrinya datang ke markas
Pondok Gede sekitar jam 8.00 pagi padahal para jama’ah tidak
memberitahukan letak markas tersebut.
Pagi
hari tanggal 26 Pebruari 1989 saudara Sudarsono sebagai penyandang dana
Front Komando Mujahiddin yang bermalam di markas, pamit kepada saya
untuk pergi ke daerah Bandung, Jawa Barat dalam rangka menunaikan tugas
perjuangan dan akan bermalam di Bandung.
Tanggal
27 Pebruari 1989 saya bersama Nurhidayat nonton televisi di rumah
tetangga sebelah. Kebetulan pada malam itu ada acara pertandingan tinju
Elyas Pical. Riyanto sudah tidur duluan. Selesai acara pertandingan
tinju, Nurhidayat pamit pulang ke rumahnya dan saya masuk ke dalam
markas. Belum jauh Nurhidayat meninggalkan markas Front Komando
Mujahiddin Fisabilillah, kira-kira baru seratus meter, terdengar
teriakan “maling-maling!” Di dalam hati saya berkata, Nurhidayat sudah
ditangkap aparat. Tapi saya sama sekali tidak ada keinginan untuk
melarikan diri dari dalam markas. Teriakan itu tidak membuat saya takut
berlebihan walaupun di dalam hati saya khawatir akan terjadi sesuatu
pada diri saya. Untuk menghilangkan rasa khawatir, saya masuk ke kamar
mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat sunah dua roka’at. Setelah
itu saya pergi tidur.
Sekitar
jam 2.00 pagi terdengar suara benda keras dilemparkan di jendela kaca
depan, membuat saya terjaga dari tidur. Setelah saya membuka pintu
kamar, asap mengepul menyerang saya diiringi teriakan “Keluar lu PKI!”
Teriakan itu saya balas juga dengan teriakan untuk membangunkan orang
tidur, seolah-olah markas itu dihuni banyak jama’ah. Hampir saja saya
dan Riyanto pingsan akibat menghirup asap, kalau kami tidak cepat-cepat
masuk kamar mandi untuk berwudhu. Wudhu membuat badan saya tegar
kembali. Kemudian saya mengambil anak panah untuk melakukan perlawanan,
tapi dicegah Riyanto dan mengajak saya naik ke genteng dari lubang
langit-langit di dalam markas. Setelah berhasil naik ke genteng dan
berada di posisi atas genteng, saya berdiri bagaikan jagoan yang siap
bertempur dengan musuhnya. Melihat saya berada di atas genteng, aparat
yang menyerbu berkata kepada saya “Turun lu PKI!” Teriakan itu dijawab
Riyanto: “Siapa yang PKI, Bapak yang PKI!” Selesai menjawab teriakan
petugas, Riyanto langsung melompat ke genteng rumah sebelah, saya juga
ikut melompat. Sayang, saya tidak bisa langsung sampai ke wuwungan,
merosot, berguling di genteng, membuat penghuni rumah bangun ketakutan.
Mereka mengira penjahat masuk ke dalam rumah. Hampir saja saya jatuh
dari atas genteng. Namun setelah saya bertakbir (Allahu Akbar), tubuh
saya seperti didorong-dorong ke atas sehingga akhirnya saya sampai juga
di atas wuwungan genteng bersama Riyanto.
Di
atas wuwungan genteng itu kami buka baju agar tidak jelas terlihat
petugas yang mengepung kami. Lalu kami berpelukan sebagai tanda
perpisahan dari sebuah perjuangan. Karena kami sudah berada di antara
hidup dan mati. Setelah berpelukan, kami lalu berpisah untuk
menyelamatkan diri masing-masing. Saya turun dari atas wuwungan genteng.
Riyanto turun dari arah yang berbeda.
Ketika
berada di pelataran halaman rumah belakang, saya melihat ada pintu
keluar, saya bergerak ke arah pintu tersebut dengan merangkak, dengan
harapan bisa meloloskan diri dari kepungan aparat. Pintu itu tidak
langsung saya buka, tapi saya intip dulu dari celah-celah pintu. Bagai
disambar petir di siang bolong terlihat para petugas yang mengepung
telah siap dengan senjata diarahkan ke pintu itu.
Karena
situasi tidak memungkinkan saya untuk lolos lewat pintu belakang, saya
berbalik ke arah semula. Badan sudah terasa sangat letih. Lalu saya
melirik ke jam tangan, jam 4.00 pagi menjelang subuh! Dalam situasi
kurang jelas terlihat sebuah bangunan. Tembok kamar mandinya di bagian
belakang tidak terlalu tinggi. Di sekitarnya ada rumpun pohon pisang.
Saya bergerak menuju ke sana untuk melepas lelah dengan harapan tidak
terlihat aparat yang mengepung. Sambil menunggu saat aman. Saya
bersandar ke di dinding tembok dengan tangan bergelantung di atas
tembok.
Tidak
beberapa lama pihak aparat memasuki halaman belakang rumah dan
memusatkan perhatian ke tempat persembunyian saya yang jaraknya sekitar
sepuluh meter. Saya sudah tidak dapat berbuat sesuatu karena badan sudah
sangat letih, hanya bisa pasrah kepada Allah antara hidup dan mati.
Ketika pandangan mata saya tertuju ke arah petugas, mata petugas juga
tertuju kepada saya dan langsung berseru: “Ini dia orangnya, gua tembak
luh!” Dan “door” peluru menembus kaki saya, tanpa memberi peringatan
lebih dulu, tanpa didahului tembakan ke atas.
Tembakan
tersebut langsung membuat saya jatuh dari atas tembok kamar mandi
sambil mengucapkan takbir (Allahu Akbar), bersamaan dengan kumandang
suara azan subuh di masjid di sekitar tempat itu.
Ketika
saya terjatuh bersimbah darah, petugas itu ingin menembak sekali lagi.
Tetapi dilarang komandannya dengan mengatakan: “Sudah cukup!” Dalam
keadaan tak berdaya saya diseret aparat dari TKP (Tempat Kejadian
Penembakan) menuju kendaraan yang sudah siap sekitar lima puluh meter
dari TKP. (hal. 75-77)
KETIKA
mengenang kembali masa-masa itu, kini saya justru bersyukur karena
rencana perang lanjutan itu tidak jadi kenyataan. Sebab, betapa
dahsyatnya bila hal itu benar-benar terjadi. Berapa banyak korban lagi
yang akan terbunuh tanpa mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.
Sumber: