-->

28 Tahun Peristiwa Talangsari 1989: Pertemuan Mantan Pelaku dan Aparat


Published on Feb 10, 2017
Peristiwa Talangsari Lampung Adalah Peperangan Melawan Thogut

Oleh Riyanto, mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi

Sejak September 1988, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Sudarsono, Fauzi Isman dan Wahidin, mengadakan pertemuan di rumah kontrakan Sudarsono di jalan Remaja 1, Prumpung, Jakarta Timur.

Dari pertemuan itu tercetus gagasan membentuk sebuah tatanan kehidupan bernegara yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sebagai tujuan jangka panjang. Sedangkan tujuan jangka pendeknya adalah membangun Islamic Village di seluruh Indonesia, yang berfungsi sebagai basis gerakan.

Untuk membangun Islamic Village ini, pada Oktober 1998 Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, memerintahkan Fauzi Isman, Wahidin dan Sofyan berangkat ke Lampung menemui Anwar Warsidi, pemimpin kelompok pengajian yang memiliki lahan seluar 1,5 hektar.

Masih pada bulan yang sama, bertempat di rumah kontrakan Sudarsono, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib bersama-sama dengan Fauzi Isman, Sudarsono dan Wahidin menerima utusan dari Anwar Warsidi (Lampung), yaitu Ir. Usman, Umar, Heri dan Abdullah (alias Dulah).

Isi pertemuan pada dasarnya menyetujui adanya kerja sama membangun Islamic Village. Rencana membangun Islamic Village sebagai basis perjuangan kian dipertegas ketika Nur Hidayat bin Abdul Mutholib bersama Fauzi Isman berangkat ke Lampung, melakukan pembicaraan dengan Anwar Warsidi.

Sebagai tindak lanjut pertemuan dan keputusan tersebut, maka pada Januari 1989, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib memberangkatkan sejumlah orang dari Jakarta, yaitu Alex (beserta keluarga), Margo, Sugeng, Muslim, Sukardi (beserta keluarga), Sofyan, Arifin, Ucup, Heru Saefudin, Iwan, Fahrudin, Kasim, Joko, ke Lampung.

Bersamaan dengan rombongan itu, melalui Alex, dititipkan sejumlah 300 anak panah.

Cita-cita jangka pendek membangun Islamic Village sebagai basis perjuangan, musnah seketika, bersamaan dengan terjadinya insiden berdarah yang menewaskan Kapt. Inf. Soetiman, di tangan mbah Marsudi, kakak kandung Anwar Warsidi, pada 6 Februari 1989, menjelang dzuhur.

Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya eksodus. Sebagian dari para muhajirin (yang semula terdiri dari sekitar 100 jiwa) itu meninggalkan Cihideung, hingga tertinggal beberapa Kepala Keluarga yang berjumlah sekitar 58 jiwa.

Pada tanggal 7 Februari 1989, pukul 03:00 pagi, pasukan Korem Garuda Hitam tiba di lokasi. Melalui pengeras suara, petugas berulangkali memperingatkan Warsidi untuk segera menyerahkan jenazah Kapten Inf. Soetiman. Namun tak dihiraukan.

Ketika pagi mulai menyeruak, ada yang memberi komando untuk berjihad. Serta-merta, jama’ah Warsidi pun berhamburan keluar sambil membawa panah dan golok menyerang petugas. Terjadilah peperangan (qital) yang tidak seimbang. Peperangan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Ketika peperangan (qital) terjadi, jumlah jama’ah Warsidi yang berada di TKP Cihideung pasca eksodus adalah 58 jiwa. Dari 58 jiwa, hanya tujuh jiwa yang selamat (hidup) termasuk Jayus dan mbah Marsudi.

Dari sejumlah 51 jiwa yang tewas, ada yang tewas karena peperangan (Lelaki dewasa), sedangkan wanita dan anak-anak tewas akibat terbakar bersama-sama dengan terbakarnya pondok yang mereka jadikan tempat tinggal.

Siapa yang membakar pondok? Dugaan kuat mengarah kepada Muhammad Ali alias Alex.

Pasca Peperangan Beberapa hari setelah peperangan, pada tanggal 10 Februari 1989 berlangsung sebuah pertemuan di kediaman Mafaid Faedah Harahap (Gang H. Jalil, Dukuh Atas, Jakarta Pusat).

Selain tuan rumah, pertemuan ini dihadiri oleh Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Fauzi Isman, Wahidin, Ridwan, Maulana Abdul Lathief, dan Sukardi, untuk membahas peristiwa Lampung. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan-keputusan sebagai berikut:

Pertama, melakukan gerakan balasan di Jakarta dan berbagai daerah lain yang memungkinkan untuk itu.

Kedua, mengirimkan utusan ke berbagai daerah.

Ketiga, membuat anak panah beracun dan bom molotov. Kempat, menetapkan nama gerakan dengan Front Komando Mujahidin (FKM). Kelima, membuat selebaran tentang Maklumat Komando Mujahidin dan Tragedi Talangsari III Lampung.

Pada tanggal 11 Februari 1989 di bengkel Yus Iskandar, Kompleks Seroja Bekasi, dan di Pangkalan Jati Jakarta Timur, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Sudarsono, Iwan, Sukardi, Fauzi Isman, Sofyan dan saya (Riyanto) membuat ratusan anak panah yang terbuat dari jeruji sepeda motor.

Gerakan balasan sebagaimana disebutkan tadi, direncanakan akan terlaksana 2 Maret 1989, berupa: meledakkan/membakar pasar Glodok, Pasar Pagi, Pompa bensin di sepanjang Jalan Jen. Sudirman, Jalan Jen. Gatot Subroto, hingga ke kawasan Tanjung Priok.

Rencana tersebut belum sempat terlaksana, karena aparat telah lebih dulu melakukan penangkapan pada akhir Februari 1989, terhadap Nurhidayat bin Abdul Mutholib dan kawan-kawan, kecuali Mafaid Faedah Harahap dan Wahidin.

http://www.kompasiana.com/
LihatTutupKomentar
Cancel