-->

28 Tahun Peristiwa Talangsari 1989: Testimoni SUKARDI, mantan PASUKAN KOMANDO Geger Talangsari 1989


Published on Feb 17, 2017
Dari Tanjung Priok Hijrah Ke Talangsari-Lampung Untuk Merencanakan Perang

Pada tahun 1985, saya bersama sejumlah jama’ah usroh, termasuk Margo Tugino dan Sugeng Saputra, mengikuti pendidikan pelatihan kelompok pengajian usroh selama tiga hari tiga malam di Condet, Jakarta Timur. Nur Hidayat merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Jakarta Selatan, yang mengenal gerakan usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi Jama’ah Islamiyah, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mantiqi II.

Selama dibina di pengajian usroh dengan berbagai doktrin Al-Qur’an dan hadits Nabi untuk memperjuangkan Islam sebagai sumber hukum yang harus diperjuangkan dengan berbagai pengorbanan, saya terpacu ingin cepat-cepat untuk melakukan Jihad Fisabilillah.

Gejolak iman untuk segera melakukan Jihad Fisabilillah tidak tersalurkan di kelompok usroh yang lebih condong kepada pembinaan dari pada melakukan jihad secara fisik. Kemudian Nurhidayat menawarkan solusi untuk menyalurkan gejolak iman saya untuk segera berjihad.

Saya bersama Margo Tugino dan Sugeng Saputra sepakat untuk bergabung dalam kelompok pengajian Nurhidayat yang terkenal radikal. Doktrin di kelompok Nurhidayat lebih condong kepada perjuangan fisik, sehingga sangat disegani oleh kelompok-kelompok pengajian lain yang mempunyai tujuan sama.

Kami mengikuti pelatihan kelompok Nurhidayat selama tujuh hari tujuh malam di daerah Jakarta Selatan. Kami digembleng secara militer. Pada malam terakhir kegiatan pelatihan, semua jama’ah diberi tugas sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, dilanjutkan dengan berbai’at (sumpah setia) kepada Nurhidayat selaku pimpinan Jama’ah.

Pada tahun 1986 berlangsung penangkapan besar-besaran oleh aparat keamanan terhadap kelompok pengajian usroh di Solo maupun Jakarta, dengan tuduhan ingin menggulingkan pemerintah. Salah satu pimpinan usroh, ustadz Abdullah Sungkar telah lebih dulu hijrah ke Malaysia bersama ustadz Abu Bakar Ba’asyir untuk menghindari penangkapan.

Aksi penangkapan yang dilakukan aparat keamanan terhadap pengajian usroh, meredupkan aktivitas ini. Namun pada tahun 1988, Nurhidayat menghidupkan kembali pengajian usroh-nya meski dilakukan lebih tertutup yaitu dari rumah ke rumah anggota saja.

Seiring berjalannya waktu, Nurhidayat menawarkan saya untuk melakukan hijrah dan jihad ke Talangsari, Lampung. Saat itu Nurhidayat sudah menyandang status sebagai Amir Musyafir. Saya menyatakan siap untuk melaksanakan tugas jihad yang memang sangat saya nantikan.

Pada pertengahan Desember 1988, rencana hijrah dan jihad itu makin mendekati kenyataan. Saat itu, Riyanto mendatangi saya seraya membawa pesan (perintah) dari Nurhidayat untuk merealisasikan hijrah ke Talangsari, Lampung. Perintah berhijrah itu berlaku untuk semua jama’ah usroh pimpinan Nurhidayat.

Saya dan istri pun memantapkan hati untuk hijrah ke Lampung dengan membawa serta kedua anak kami. Rencana ini rupanya didengar Marni, adik kandung istri saya. Dia mendesak untuk ikut serta berhijrah ke Lampung. Dengan keras, saya berusaha mencegah Marni. Namun keinginannya kuat sekali. Apalagi, istri saya mengizinkan Marni ikut serta.

Sebagai bekal berhijrah ke Lampung, saya menjual seluruh dagangan kacamata dan peralatan yang ada di dalam optik. Pihak pimpinan jama’ah sama sekali tidak memberikan bekal, kecuali sepucuk surat rekomendasi yang diberikan melalui Fauzi Isman.

Sesuai petunjuk Amir Musyafir, Nurhidayat, pada tanggal 5 Januari 1989 kami pun berangkat menuju Lampung. Saya, istri, dua orang anak kami, dan Marni. Setiba di Lampung, kami singgah dulu di rumah Bapak Jamzuri, di daerah Sidorejo, sesuai arahan dan petunjuk Nurhidayat.

Kami bermalam di kediaman pak Jamzuri, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke lokasi hijrah, yang berjarak sekitar 50 kilometer dari kediaman pak Jamzuri.

Tanggal 7 Januari 1989, menjelang shalat dzuhur, kami pun tiba di lokasi hijrah, di Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari. Kami diantar Sutan Malano sejak dari kediaman pak Jamzuri. Sutan Malano pulalah yang membawa saya ke hadapan Pak Warsidi dan memperkenalkan saya dengan para jama’ah yang sudah lebih dulu berada di sana.

Untuk sementara, kami menempati kamar yang sudah disiapkan Pak Warsidi. Kamar tersebut berada dalam satu bangunan dengan tempat tinggal Warsidi. Setelah bangunan baru siap huni, saya dan keluarga pun menempati bangunan baru.

Di lokasi hijrah, saya dan para jama’ah lainnya bahu-membahu membangun rumah (pondok) yang disiapkan untuk menyambut kedatangan para muhajirin dari Jakarta dan Jawa Tengah. Selain itu, kami becocok-tanam, dan menyelengarakan pengajian rutin di malam hari.

Lokasi hijrah di Cihideung ini baru ditempati Warsidi dan keluarganya pada tahun 1987. Tanah seluas satu setengah hektar ini merupakan tanah hibah dari Jayus alias Dayat bin Karmo, yang bersama keluarganya juga tinggal di Cihideung, dalam pondok yang berbeda.
LihatTutupKomentar
Cancel